Sabtu, 30 April 2011

MANAJEMEN KONFLIK


1.    PENGERTIAN KONFLIK
Konflik pada dasarnya adalah segala macam interaksi pertentangan atau antagonistis antara dua atau lebih pihak. Robert C. North menyatakan “A conflict emerges when two or more persons or group seek to possess the same object, occupy the same space or the same exclusive position” (Jandt FE & Gillette, P. 1985 :p.25).
            Menurut Kreitner, R & Kinicki, A (2001 : 447) : “ Conflict is a process in which one party perceives that it’s interests are being opposed or negatively affected by another party”.
Konflik adalah pergesekan atau friksi yang terekspresikan di antara dua pihak atau lebih, di mana masing-masing mempersepsi adanya interferensi dari pihak lain, yang dianggap menghalangi jalan untuk mencapai sasaran. Konflik hanya terjadi bila semua pihak yang terlibat, mencium adanya ketidaksepakatan Para pakar ilmu perilaku organisasi, memang banyak yang memberikan definisi tentang konflik. Robbins, salah seorang dari mereka merumuskan Konflik sebagai : “sebuah proses dimana sebuah upaya sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam berbagai bentuk hambatan (blocking) yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi dalam usahanya mancapai tujuan yang diinginkan atau merealisasi minatnya”. Dengan demikian yang dimaksud dengan Konflik adalah proses pertikaian yang terjadi sedangkan peristiwa yang berupa gejolak dan sejenisnya adalah salah satu manifestasinya. Dua orang pakar penulis dari Amerika Serikat yaitu, Cathy A Constantino, dan Chistina Sickles Merchant mengatakan dengan kata-kata yang lebih sederhana, bahwa konflik pada dasarnya adalah: “sebuah proses mengekspresikan ketidapuasan, ketidaksetujuan, atau harapan-harapan yang tidak terealisasi”. Kedua penulis tersebut sepakat dengan Robbins bahwa konflik pada dasarnya adalah sebuah proses. Konflik dapat diartikan sebagai ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama atau menjalankan kegiatan bersama-sama dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda. Anggota-anggota organisasi yang mengalami ketidaksepakatan tersebut biasanya mencoba menjelaskan duduk persoalannya dari pandangan mereka Lebih jauh Robbins menulis bahwa sebuah konflik harus dianggap sebagai “ada” oleh fihak-fihak yang terlibat dalam konflik. Dengan demikian apakah konflik itu ada atau tidak ada, adalah masalah “persepsi” dan bila tidak ada seorangpun yang menyadari bahwa ada konflik, maka dapat dianggap bahwa konflik tersebut memang tidak ada. Tentu saja ada konflik yang hanya dibayangkan ada sebagai sebuah persepsi ternyata tidak riil. Sebaliknya dapat terjadi bahwa ada situasi-situasi yang sebenarnya dapat dianggap sebagai “bernuansa konflik” ternyata tidak dianggap sebagai konflik karena nggota-anggota kelompok tidak menganggapnya sebagai konflik. Selanjutnya, setiap kita membahas konflik dalam organisasi kita, konflik selalu diasosiasikan dengan antara lain, “oposisi” (lawan), “kelangkaan”, dan “blokade”. Diasumsikan pula bahwa ada dua fihak atau lebih yang tujuan atau kepentingannya tidak saling menunjang. Kita semua mengetahui pula bahwa sumberdaya dana, daya reputasi, kekuasaan, dan lain-lain, dalam kehidupan dan dalam organisasi tersedianya terbatas. Setiap orang, setiap kelompok atau setiap unit dalam organisasi akan berusaha memperoleh semberdaya tersebut secukupnya dan kelangkaan tersebut akan mendorong perilaku yang bersifat menghalangi oleh setiap pihak yang punya kepentingan yang sama. Fihak-fihak tersebut kemudian bertindak sebagai oposisi terhadap satu sama lain. Bila ini terjadi, maka status dari situasi dapat disebut berada dalam kondisi “konflik”.

2.    MANIFESTASI KONFLIK
Konflik yang terjadi dalam masyarakat atau dalam sebuah organisasi dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk atau cara : Perselisihan (Dispute): bagi kebanyakan orang awam, kata konflik biasanya diasosiasikan dengan “dispute” yaitu “perselisihan” tetapi, dalam konteks ilmu perilaku organisasi, “perselisihan” sebenarnya sudah merupakan salah satu dari banyak bentuk produk dari konflik. Dispute atau perselisihan adalah salah satu produk konflik yang paling mudah terlihat dan dapat berbentuk protes (grievances), tindakan indispliner, keluhan (complaints), unjuk rasa ramai-ramai , tindakan pemaksaan (pemblokiran, penyanderaan, dsb.), tuntutan ataupun masih bersifat ancaman atau pemogokan baik antara fihak internal organisasi ataupun dengan fihak luar adalah tanda-tanda konflik yang tidak terselesaikan. Kompetisi (persaingan) yang tidak sehat. Persaingan sebenarnya tidak sama dengan konflik. Persaingan seperti misalnya dalam pertandingan atletik mengikuti aturan main yang jelas dan ketat. Semua pihak yang bersaing berusaha memperoleh apa yang diinginkan tanpa di jegal oleh pihak lain. Adanya persaingan yang sangat keras dengan wasit yang tegas dan adil, yang dapat menjurus kepada perilaku dan tindakan yang bersifat menjegal yang lain. Sabotase adalah salah satu bentuk produk konflik yang tidak dapat diduga sebelumnya. Sabotase seringkali digunakan dalam permainan politik dalam internal organisasi atau dengan pihak eksternal yang dapat menjebak pihak lain. Misalnya saja satu pihak mengatakan tidak apa-apa, tidak mengeluh, tetapi tibatiba mengajukan tuntutan ganti rugi miliaran rupiah melalui pengadilan. Insfisiensi/produktivitas yang rendah. Apa yang terjadi adalah salah satu fihak (biasanya fihak pekerja) dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang berakibat menurunkan produktivitas dengan cara memperlambat kerja (slowdown), mengurangi output, melambatkan pengiriman, dll. Ini adalah salah satu dari bentuk konflik yang tersembunyi (hidden conflic) dimana salah satu fihak menunjukan sikapnya secara tidak terbuka. Penurunan moril (low morale). Penurunan moril dicerminkan dalam menurunnya gairah kerja, meningkatnya tingkat kemangkiran, sakit, penurunan moril adalah juga merupakan salah satu dari produk konflik tersembunyi dalam situasi ini salah satu fihak, biasanya pekerja, merasa takut untuk secara terang-terangan untuk memprotes fihak lain sehingga elakukan tindakan-tindakan tersembunyi pula. Menahan/menyembunyikan informasi. Dalam banyak organisasi informasi adalah salah satu sumberdaya yang sangat penting dan identik dengan kekuasaan (power). Dengan demikian maka penahanan/penyembunyian informasi adalah identik dengan kemampuan mengendalikan kekuasaan tersebut. tindakantindakan seperti ini menunjukkan adanya konflik tersembunyi dan ketidak percayaan (distrust).
3.    MACAM KONFLIK
1. Dari segi fihak yang terlibat dalam konflik
1)    Konflik individu dengan individu Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan individu pimpinan dari berbagai tingkatan. Individu pimpinan dengan individu karyawan maupun antara inbdividu karyawan dengan individu karyawan lainnya.
2)    Konflik individu dengan kelompok Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan kelompok ataupun antara individu karyawan dengan kempok pimpinan.
3)    Konflik kelompok dengan kelompok Ini bisa terjadi antara kelompok pimpinan dengan kelompok karyawan, kelompok pimpinan dengan kelompok pimpinan yang lain dalam berbagai tingkatan maupun antara kelompok karyawan dengan kelompok karyawan yang lain.
2. Dari segi dampak yang timbul
Dari segi dampak yang timbul, konflik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konflik fungsional dan konflik infungsional. Konflik dikatakan fungsional apabila dampaknya dapat memberi manfaat atau keuntungan bagi organisasi, sebaliknya disebut infungsional apabila dampaknya justru merugikan organisasi. Konflik dapat menjadi fungsional apabila dikelola dan dikendalikan dengan baik. Contoh konflik yang fungsional dengan kasus seorang manajer perusahaan yang menghadapi masalah tentang bagaimana mengalokasikan dana untuk meningkatkan penjualan masing-masing jenis produk. Pada saat itu setiap produk line berada pada suatu devisi. Salah satu cara pengalokasian mungkin dengan memberikan dana tersebut kepada devisi yang bisa mengelola dana dengan efektif dan efisien. Jadi devisi yang kurang produktif tidak akan memperoleh dana tersebut. Tentu saja di sini timbul konflik tentang pengalokasian dana. Meskipun dipandang dari fihak devisi yang menerima alokasi dana yang kurang, konflik ini dipandang infungsional, tetapi dipandang dari perusahaan secara keseluruhan konflik ini adalah fungsional, karena akan mendorong setiap devisi untuk lebih produktif.
Manfaat yang mungkin timbul dari contoh kasus di atas antara lain : (1) Para manajer akan menemukan cara yang lebih efisien dalam menggunakan dana (2) Mereka mungkin bisa menemukan cara untuk menghemat biaya (3) Mereka meningkatkan prestasi masing-masing devisi secara keseluruhan sehingga bisa tersedia dana yang lebih besar untuk mereka semua. Meskipun demikian, mungkin juga timbul akibat yang tidak fungsional, di mana kerjasama antara kepala devisi menjadi rusak karena konflik ini. Setiap konflik, baik fungsional maupun infungsional akan menjadi sangat merusak apabila berlangsung terlalu jauh. Apabila konflik menjadi di luar kendali karena mengalami eskalasi, berbagai perilaku mungkin saja timbul. Pihak-pihak yang bertentangan akan saling mencurigai dan bersikap sinis terhadap setiap tindakan pihak lain. Dengan timbulnya kecurigaan, masing-masing pihak akan menuntut permintaan yang makin berlebihan dari pihak lain. Setiap kegagalan untuk mencapai hal yang diinginkan akan dicari kambing hitam dari pihak lain dan perilaku pihaknya sendiri akan selalu dibela dan dicarikan pembenarannya, bahkan dengan cara yang emosional dan tidak rasional. Pada tahap seperti ini informasi akan ditahan dan diganggu, sehingga apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa terjadi menjadi tidak diketahui. Dan segera bisa muncul usaha untuk menggagalkan kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain. Kegiatan untuk “menang” menjadi lebih dominan dari pada untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Heidjrachman dari berbagai penelitian dan percobaan ternyata ditemukan hasil-hasil yang mirip antara yang satu dengan yang lain situasi, yang timbul akibat adanya konflik, baik konflik yang fungsional maupun konflik yang infungsional.
Di antaranya yang penting adalah :
1)    Timbulnya kekompakan di antara anggota-anggota kelompok yang mempunyai konflik dengan kelompok yang lain;
2)    Munculnya para pimpinan dari kelompok yang mengalami konflik;
3)    Ada gangguan terhadap persepsi para anggota atau kelompok yang mengalami konflik;
4)    Perbedaan antara kelompok yang mengalami konflik nampak lebih besar dari pada yang sebenarnya, sedangkan perbedaan pendapat antar individu dalam masing-masing kelompok tampak lebih kecil dari pada yang sebenanya;
5)    Terpilihnya “wakil-wakil” yang kuat dari pihak-pihak yang mengalami konflik;
6)    Timbulnya ketidakmampuan untuk berfikir dan menganalisa permasalahan secara jernih.

4.    SUMBER KONFLIK
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan adanya konflik dalam suatu organisasi antara lain adalah :
1)    Berbagai sumber daya yang langka Karena sumber daya yang dimiliki organisasi terbatas / langka maka perlu dialokasikan. Dalam alokasi sumber daya tersebut suatu kelompok mungkin menerima kurang dari kelompok yang lain. Hal ini dapat menjadi sumber konflik.
2)    Perbedaan dalam tujuan Dalam suatu organisasi biasanya terdiri dari atas berbagai macam bagian yang bisa mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Perbedaan tujuan dari berbagai bagian ini kalau kurang adanya koordinasi dapat menimbulkan adanya konflik. Sebagai contoh : bagian penjualan mungkin ingin meningkatkan valume penjualan dengan memberikan persyaratanpersyaratan pembelian yang lunak, seperti kredit dengan bunga rendah, jangka waktu yang lebih lama, seleksi calon pembeli yang tidak terlalu ketat dan sebagainya. Upaya yang dilakukan oleh bagian penjualan semacam ini mungkin akan mengakibatkan peningkatan jumlah piutang dalam tingkat yang cukup tinggi. Apabila hal ini dipandang dari sudut keuangan, mungkin tidak dikehendaki karena akan memerlukan tambahan dana yang cukup besar.
3)    Saling ketergantungan dalam menjalankan pekerjaan Organisasi merupakan gabungan dari berbagai bagian yang saling berinteraksi. Akibatnya kegiatan satu pihak mungkin dapat merugikan pihak lain. Dan ini merupakan sumber konflik pula. Sebagai contoh : bagian akademik telah membuat jadwal ujian beserta pengawanya, setapi bagian tata usaha terlambat menyampaikan surat pemberitahuan kepada para pengawas dan penguji sehingga mengakibatkan terganggunya pelaksanaan ujian.
4)    Perbedaan dalam nilai atau persepsI Perbedaan dalam tujuan biasanya dibarengi dengan perbedaan dalam sikap, nilai dan persepsi yang bisa mengarah ke timbulnya konflik. Sebagai contoh : seorang pimpinan muda mungkin merasa tidak senang sewaktu diberi tugastugas rutin karena dianggap kurang menantang kreativitasnya untuk berkembang, sementara pimpinan yang lebih senior merasa bahwa tugastugas rutin tersebut merupakan bagian dari pelatihan.
5)    Sebab-sebab lain Selain sebab-sebab di atas, sebab-sebab lain yang mungkin dapat menimbulkan konflik dalam organisasi misalnya gaya seseorang dalam bekerja, ketidakjelasan organisasi dan masalah-masalah komunikasi.

5.    MANAJEMEN KONFLIK YANG EFEKTIF
Manajemen konflik dimaksudkan sebagai sebuah proses terpadu (intergrated) menyeluruh untuk menetapkan tujuan organisasi dalam penanganan konflik, menetapkan cara-cara mencegahnya program-program dan tindakan sebagai tersebut maka dapat ditekankan empat hal :
1)    Manajemen konflik sangat terkait dengan visi, strategi dan sistem nilai/kultur organisasi manajemen konflik yang diterapkan akan terkait erat dengan ketiga hal tersebut
2)    Menajemen konflik bersifat proaktif dan menekankan pada usaha pencegahan. Bila fokus perhatian hanya ditujukan pada pencarian solusisolusi untuk setiap konflik yang muncul, maka usaha itu adalah usaha penanganan konflik, bukan manajemen konflik.
3)    Sistem manajemen konflik harus bersifat menyeluruh (corporate wide) dan mengingat semua jajaran dalam organisasi. Adalah sia-sia bila sistem manajemen konflik yang diterapkan hanya untuk bidang Sumberdaya Manusia saja misalnya.
4)    Semua rencana tindakan dan program-program dalam sistem manajemen konflik juga akan bersifat pencegahan dan bila perlu penanganan. Dengan demikian maka semua program akan mencakup edukasi, pelatihan dan program sosialisasi lainnya.
Metode yang sering digunakan untuk menangani konflik adalah : 
1)           Metode pengurangan konflik. Salah satu cara yang sering efektif adalah dengan mendinginkan persoalan terlebih dahulu (cooling thing down). Meskipun demikian cara semacam ini sebenarnya belum menyentuh persoalan yang sebenarnya. Cara lain adalah dengan membuat “musuh bersama”, sehingga para anggota di dalam kelompok tersebut bersatu untuk menghadapi “musuh” tersebut. Cara semacam ini sebenarnya juga hanya mengalihkan perhatian para anggota kelompok yang sedang mengalami konflik.
2)           Metode penyelesaian konflik. Cara yang ditempuh adalah dengan mendominasi atau menekan, berkompromi dan penyelesaian masalah secara integratif. (1) Dominasi (Penekanan) Dominasi dan penekanan mempunyai persamaan makna, yaitu keduanya menekan konflik, dan bukan memecahkannya, dengan memaksanya “tenggelam” ke bawah permukaan dan mereka menciptakan situasi yang menang dan yang kalah. Pihak yang kalah biasanya terpaksa memberikan jalan kepada yang lebih tinggi kekuasaannya, menjadi kecewa dan dendam. Penekanan dan dominasi bisa dinyatakan dalam bentuk pemaksaan sampai dengan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak (voting). (2) Kompromi Melalui kompromi mencoba menyelesaikan konflik dengan menemukan dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik ( win-win solution ). Cara ini lebih memperkecil kemungkinan untuk munculnya permusuhan yang terpendam dari dua belah pihak yang berkonflik, karena tidak ada yang merasa menang maupun kalah. Meskipun demikian, dipandang dari pertimbangan organisasi pemecahan ini bukanlah cara yang terbaik, karena tidak membuat penyelesaian yang terbaik pula bagi organisasi, hanya untuk menyenangkan kedua belah pihak yang saling bertentangan atau berkonflik (3) Penyelesaian secara integratif Dengan menyelesaikan konflik secara integratif, konflik antar kelompok diubah menjadi situasi pemecahan persoalan bersama yang bisa dipecahkan dengan bantuan tehnik-tehnik pemecahan masalah (problem solving). Pihak-pihak yang bertentangan bersama-sama mencoba memecahkan masalahnya,dan bukan hanya mencoba menekan konflik atau berkompromi. Meskipun hal ini merupakan cara yang terbaik bagi organisasi, dalam prakteknya sering sulit tercapai secara memuaskan karena kurang adanya kemauan yang sunguh-sungguh dan jujur untuk memecahkan persoalan yang menimbulkan persoalan.
Untuk menjelaskan berbagai alternatif penyelesaian konflik dipandang dari sudut menang – kalah masing-masing pihak, ada empat kuadran manajemen konflik:
1)           Kuadran Kalah-Kalah (Menghindari konflik) Kuadran keempat ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Kita tidak memaksakan keinginan kita dan sebaliknya tidak terlalu menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai pihak lain. Cara ini sebetulnya hanya bisa kita lakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting. Jadi agar tidak menjadi beban dalam pikiran atau kehidupan kita, sebaiknya memang setiap potensi konflik harus dapat segera diselesaikan.
2)           Kuadran Menang-Kalah (Persaingan) Kuadran kedua ini memastikan bahwa kita memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya kita menggunakan kekuasaan atau pengaruh kita untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut kita yang keluar sebagai pemenangnya. Biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga sebaiknya hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas.
3)           Kuadran Kalah-Menang (Mengakomodasi) Agak berbeda dengan kuadran kedua, kuadran ketiga yaitu kita kalah – mereka menang ini berarti kita berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini kita gunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang kita inginkan. Mengalah dalam hal ini bukan berarti kita kalah, tetapi kita menciptakan suasana untuk memungkinkan penyelesaian yang paripurna terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak. Mengalah memiliki esensi kebesaran jiwa dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau mengakomodasi kepentingan kita sehingga selanjutnya kita bersama bisa menuju ke kuadran pertama.
4) Kuadran Menang-Menang (Kolaborasi) Kuadran pertama ini disebut dengan gaya manajemen konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuan kita adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya. Proses ini memerlukan komitmen yang besar dari kedua pihak untuk menyelesaikannya dan dapat menumbuhkan hubungan jangka panjang yang kokoh .
Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut.
6.    Proses Konflik
Terdiri atas lima tahap:
1.            Tahap I: Potensi Oposisi atau Ketidakcocokan
Langkah pertama adalah adanya kondisi yang menciptakan kesempatan untuk kemunculan konflik tsb. Tahap ini terbagi menjadi 3 kategori umum:
Komunikasi dapat merupakan sumber konflik. Komunikasi menyatakan kekuatan-kekuatan berlawanan yang timbul dari dalam kesulitan semantik, kesalahpahaman, dan kebisingan dalam saluran komunikasi. Kesulitan semantik timbul akibat perbedaan pelayihan, persepsi selektif, dan informasi tidak memadai mengenai orang lain. Jadi, terlalu banyak maupun sedikit informasi dapat menjadi dasar untuk konflik.
Struktur istilah struktur digunakan untuk mencakup variabel seperti ukuran, derajat spesialisasi dalam tugas, kejelasan yuridiksi, kecocokan anggota (sasaran), gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antar kelompok. Semakin besar kelompok dan terspesialisasi kegiatan, maka kemungkinan konflik makin besar, sebab masa kerja dan konflik berbanding terbalik. Selain itu, semakin besar ambiguitas dalam mendefinisikan secara cermat letak tanggung jawab tindakan, maka potensi munculnya konflik juga semakin besar. Partisipasi dan konflik sangta lah berkaitan, dan juga sistem imbalan dapat menciptakan konflik bila terjadi ketidak adilan pembagian.

Variabel Pribadi mencakup sistem nilai individu setiap orang dan karakteristik kepribadian yang menyebabkan idiosinkrasi(penyimpangan kaidah gramatikal pada ragam bahasa seseorang) dan perbedaan individu. Namun, ada sebuah sistem yang terabaikan padahal sebenarnya merupakan sumber yang oenting dalam menciptakan potensi konflik. Perbedaan nilai merupakan penjelasan terbaik atas persoalan yang beraneka seperti prasangka, ketidaksepakatan mengenai sumbangan seseorang pada sebuah kelompok dan imbalan yang layak diterimanya, dan penilaian atas bagus tidaknya sebuah buku.
2.            Tahap II: Kognisi dan Persoalisi
Meskipun konflik tersebut dipersepsiakan, tidak berarti bahwa konflik tersebut dipersonalisasikan. Dengan kata lain, seseorang mungkin menyadari bahwa dia dan partnernya berada dalam kondisi tidak sepakat yang serius, namun hal itu tidak membuatnya tegang atau cemas dan juga tidak berpengaruh apapun pada perasaannya terhadap partnernya tersebut. Sebuah konflik terdapat pada tingkat terasakan apabila individu-individu terlibat secara emosional, sehingga timbul kecemasan, ketegangna, frustasi dan permusuhan.
Tahap ini merupakan tahap yang penting, karena disini konflik cenderung didefinisikan. Emosi memainkan peran utama dalam membentuk persepsi. Umumnya emosi negatif menghasilkan penyederhanaan berlebihan atas suatu persoalan., mengurangi kepercayaan, dan penafsiran negatif atas perilaku pihak lain. Sebaliknya, perasaan positif meningkatkan kecenderungna melihat potensi hubungan antara setiap unsur masalah, menggunakan pandangan yang lebih luas atas situasi dan mengembangkan penyelesaian yang lebih inovatif. 
3.            Tahap III: Maksud
Maksud merupakan keputusan untuk bertindak dalam cara tertentu. Maksud (niat) berada di antara persepsi dan emosi serta perilaku. Maksud-maksud penanganan konflik primer dengan menggunakan dua dimensi antara lain:
a.  Kekooperatifan
Tingkat sejauh mana salah satu pihak berupaya memuaskan kebutuhan pihak lain.
b.  Ketegasan
Tingkat sejauh mana suatu pihak berupaya memenuhi kebutuhannya sendiri. Terbagi menjadi lima maksud penanganan konflik:
1)  Persaingan (tegas dan tidak kooperatif)
Persaingan merupakan keinginan memuaskan kepentingan seseorang, tidak memperdulikan dampak pada pihak lain dalam konflik tersebut.
2)  Kolaborasi (tegas dan kooperatif)
Kolaborasi merupakan situasi yang di dalamnya pihak-pihak yang berkonflik sepenuhnya saling memuaskan kepentingan semua pihak. Dalam kolaborasi, maksud pihak-pihak tersebut adalah memecahkan masalah dengan mengklarifikasi perbedaa, bukan dengna mengakomodasi berbagai sudut pandang.
3)  Penghindaran (tidak tegas dan tidak kooperatif)
     Penghindaran  merupakan keinginan menarik diri dari atau menekan konflik.
4)  Akomodasi (kooperatif dan tidak tegas)
Akomodasi merupakan kesediaan satu pihak dalam konflik untuk memperlakukan kepentingan pesaing di atas kepentinganny sendiri.
5)  Kompromi (kisaran tengah dalam hal ketegasan dan kekooperatifan)
      Kompromi merupakan suatu situasi yang di dalamnya masing-masing pihak yang berkonflik bersedia mengorbankan sesuatu. Oleh sebab itu karakteristik khas kompromi adalah bahwa setiap pihak bermaksud melepaskan sesuatu.
Sebenarnya kelima maksud penanganan konflk tersebut bukanlah sebagai seperangkat pilihan, namun sebagai relatif tetap. Artinya, bila menghadapi situasi konflik, ada ynag ingin menang bagaimana pun caranya, ada yang ingin menemukan pemecahan yang optimum, ada yang ingin melarikan diri, ada yang ingin mematuhi, dan juga ada yang ingin memecahkan perbedaan.
4.            Tahap IV: Perilaku
Tahap perilaku mencakup :
a.  Pernyataan
b.  Tindakan
c.  Reaksi yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkonflik
Manajemen Konflik merupakan penggunaan teknik-teknik resolusi dan stimulasi untuk meraih level konflik yang diinginkan
5.            Tahap V: Hasil
Hasil Fungsional
Tampaknya terdapat kesepakatan umum bahwa menciptakan konflik fungsional merupakan pekerjaan yang sulit, terutama dalam perusahaan Amerika yang besar. Seperti kata seorang konsultan, “Sebagian besar orang yang sampai di puncak adalah penghindar konflik. Mereka tidak suka mendengar hal-hal yang negatif, mereka tidak suka mengatakan atau memikirkan hal-hal yang negatif. Sering mereka berhasil mendaki tangga sebagian karena mereka tidak menyakiti hati orang-orang ketika mendaki.” Seorang lain mengemukakan bahwa sekurang-kurangnya 7 dari 10 orang dalam bisnis Arnerika berdiam diri bila pendapat mereka bertentangan dengan pandangan atasan, membiarkan para atasan membuat kekeliruan meskipun mereka sendiri mengetahui secara lebih baik. Budaya antikonflik semacam itu mungkin telah dapat ditolerir pada masa lalu, tetapi tidak dalam ekonomi global dengan persaingan begitu ganas seperti pada sekarang ini.
Organisasi-organisasi yang tidak mendorong dan mendukung perbedaan pandangan muungkin tidak bertahan hidup. Beberapa pendekatan yang digunakan organisasi untuk mendorong orang mereka menantang sistem dan mengembangkan gagasan segar. Satu bahan baku umum dalam organisasi-organisasi yang sukses menciptakan konflik fungsional adalah bahwa mereka menghargai perbedaan pendapat dan menghukum penghindar konflik. Tetapi tantangan yang sebenarnya bagi para manajer ialah ketika mereka mendengar berita yang tidak ingin mereka dengar. Berita itu dapat mendidihkan darah mereka atau meruntuhkan harapan mereka, tetapi mereka tidak dapat memperlihatkannya. Mereka harus belajar menerima kabar buruk tanpa tersentak. Tidak ada semburan kata-kata marah, tidak ada sarkasme bibir-niengatup, tidak ada mata yang melotot, tidak ada gemeretak gigi. Sebaliknya, manajer seharusnya mengemukakan pertanyaan yang tenang, bahkan lembut.
Konflik bersifat konstruktif apabila konflik itu memperbaiki kualitas keputusan, merangsang kreativitas dan inovasi, mendorong perhatian dan keingintahuan di kalangan anggota kelompok, menjadi saluran yang merupakan sarana penyampaian masalah dan peredaan ketegangan, dan memupuk lingkungan evaluasi diri serta perubahan. Teknik Pemecahan Konflik :

1)    Pemecahan Masalah
Pertemuan tatap muka pihak-pihak yang berkonflik dengna maksud mengidentifikasi masalah dan memecahkannya melalui pembahasan terbuka.
2)    Sasaran atasan
Menciptakan sasarna bersama yang tidak dapat dicapai tanpa kerjasama masing-masing pihak yang berkonflik.
3)    Perluasan sumberdaya
Bila konflik disebabkan oleh kelangkaan sumber daya (seperti: uang, kesempatan promosi, ruangan kantor) perluasan sumber daya dapat menciptakan solusi yang saling menguntungkan.
4)    Penghindaran
Menarik diri atau menekan konflik.
5)    Penghalusan
Meminimalkan arti perbedaan sekaligus menekankan kepentingan bersama antara pihak-pihak yang berkonflik.
6)    Kompromi
Setiap pihak yang berkonflik itu mengorbankan sesuatu yang berharga.
7)    Komando otoritatif
Manajemen menggunakan wewenang formalnya untuk menyelesaikan konflik dan kemudian mengkomunikasikan keinginannya ke pihak-pihak yang terlibat.
8)    Mengubah variabel manusia
Menggunakan teknik pengubahan perilaku manusia, misalnya: pelatihan hubungan manusia untuk mengubah sikap dan perilaku yang menyebabkan konflik.
9)    Mengubah variabel struktur
Mengubah struktur organisasi formal dan pola structural interaksi pihak-pihak yang berkonflik melalui perancangan ulang pekerjaan, pemindahan, penciptaan posisi koordinasi, dan sejenisnya.
Hasil Disfungsional
Konsekuensi destruktif konflik pada kinerja kelompok atau organisasi umumnya sangat dikenal. Oposisi yang tidak terkendali memunculkan ketidakpuasan, yang bertindak menghilangkan ikatan bersama, dan pada akhirnya mendoromg ke penghancuran kelompok itu. Konflik dari ragam disfungsional dapat mengurangi efektifitas kelompok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar